Laporan Makalah Teori
Sastra
“ KASIH TAK SAMPAI (
ANALISIS NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER
WIJCK KARYA HAMKA MELALUI PENDEKATAN
RESEPSI SASTRA)”
Disusun oleh :
Nama
: Aini Rokhmawati
Nim : 2222121374
Kelas : 1c
Prodi : Diksatrasia
UNIVERSITAS SULTAN
AGENG TIRTAYASA
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara mengenai cinta memang sebuah
pembahasan yang menarik. Benarkah demikian? Indah sungguh indah bila kita
saling memiliki, melengkapi dan apabila semua itu dapat terwujud. Cinta memang
suatu anugerah dari Allah. Cinta tidak dapat dilukiskan dengan apapun. Karena
cinta membuat semua orang terpana dan
terlena oleh seisi dunia. Namun bagaimana jika cinta itu harus terhambat oleh
sebuah adat istiadat yang kokoh dalam suatu negeri yang yang bersuku dan
berlembaga, berkaum kerabat, dan berninik-mamak?
Dalam makalah inilah akan dideskripsikan
mengenai novel Tenggelamnya Kapal Van Der wijck yang merujuk pada ciri-ciri
sastra Balai Pustaka yaitu, tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua
dengan kaum muda, kasih tak sampai, kawin paksa, bahan ceritanya dari
MinangKabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik
sentimental.
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck melukiskan kisah cinta dengan jalan ceritanya yang dilatar belakangi dengan
peraturan-peraturan budaya.
Novel
ini sangat menarik karena membicarakan permasalahan cinta antara tokoh
Zainuddin dengan tokoh Hayati. Selain itu Zainuddin, tokoh dalam novel tersebut
yang merupakan keturunan Minang akan tetapi dibesarkan dikeluarga Bugis,
ditolak permintaanya untuk menikah dengan Hayati karena Zainuddin dianggap
miskin dan tidak setara dengan Hayati.
Pada makalah ini, difokuskan kepada
pendekatan resepsi sastra yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana ‘pembaca’
memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga menimbulkan
reaksi atau tanggapan.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam pendekatan teori
sastra ini adalah bagaimana pembaca dapat menilai sebuah karya sastra yang ada
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Rumusan tersebut kemudian akan
dijabarkan melalui respon pembaca yang berbeda-beda antara pembaca yang satu
dengan yang lainnya.
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menghasilkan tanggapan yang beraneka ragam dari tiap periode dengan periode
lainnya.
II.
PEMBAHASAN
A. Kajian
Teori
·
Pendekatan Teori
Resepsi Sastra
Kritik sastra memiliki peran yang
penting dalam perkembangan teori sastra dalam salah satu teori tersebut adalah
resepsi sastra. Resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik
sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti hakim. kata
benda krites berasal dari kata
kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar
penghakiman. Lalu timbul kata kritikos
yang berarti hakim karya sastra
(Suyitno,2009:1).
Selanjutnya,Endaswara (2008:118)
mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh
pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik
tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.
Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki
makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.
Berdasarkan pendapat di atas dapat kita
simpulkan bahwa resepsi sastra merupakan suatu pendekatan yang menfokuskan
perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca menilai atau mengkritik karya
sastra terhadap teks tersebut.
B. Dasar-dasar
Teori Resepsi Sastra
Teori resepsi dikembangkan oleh RT
Segers (1978) dalam bukunya Receptie Esthetika.
Buku receptie Esthetika diawali dengan dasa-dasar resepsi sastra ditentukan ada
tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca :
1. Norma-norma
yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
2. Pengetahuan
dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
3. Pertentangan
antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik
secara horison “sempit” dari
harapn-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang
kehidupan.
C. Analisis
Resepsi Sastra
Seperti yang disampaikan dalam bagian
pendahuluan karya sastra yang akan di analisis menggunakan pendekatan resepsi
sastra adalah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA. Dalam novel
ini mengisahkan tentang percintaan yang penuh dengan pertentangan adat istiadat
hingga berakhir pada kematian.
1. Zainuddin
dan Hayati
Tokoh utama dalam novel ini adalah Zainuddin dan Hayati, mereka
adalah sepasang remaja yang tidak bisa bersatu karena adat. Zainuddin adalah
orang keturunan Minang namun dibesarkan di kalangan Bugis, sedangkan Hayati
adalah perempuan keturunan Minang asli yang kental dengan peraturan adat
setempat.
Zainuddin
adalah seorang yang terdidik lemah lembut, baik hati, alim dan suka menolong
orang banyak. Hayati adalah seorang gadis cantik yang menjadi korban dari
kekjaman peraturan adat yang ada di daerahnya. Hal ini tampak pada saat
Zainuddin melamar Hayati melalui sebuah surat yang akhirnya dibalas oleh
keluarganya yang isinya amat dingin dan ringkas sebagai berikut :
Kepada orang
muda Zainuddin, di Padang Panjang.
Surat orang muda
telah kami terima dan mafhum kami apa isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau
beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati
hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum
segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya, artinya belum sepakat.
Oleh sebab kayu yang becabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah
permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang bahwa permintaan ini
tiada dapat kami kabulkan. (hlm. 114).
Surat itu adalah sebuah penolakan
di atas nama adat. Disinalah peran pembaca untuk memberikan penilaian. Terkait
dengan kutipan di atas mungkin pembaca yang ada di masa kini menilai bahwa
tindakan tersebut merupakan kekejaman peraturan adat, atau mungkin mereka
beranggapan bahwa adat ini merupakan suatu tradisi yang egoistis tanpa
mementingkan perasaan. Berbeda dengan pembaca yang ada di masa lalu, mungkin
mereka menilai bahwa kejadian seperti ini tidak asing lagi. Karena orang-orang
pada zaman dahulu masih mematuhi dan menekankan adat-adat yang berlaku. Namun
kejadian seperti itu hanya ada di daerah-daerah tertentu yang dilatar belakangi
oleh peraturan adatnya.
2. Konflik
dalam kisah Hayati dan Zainuddin
Surat pada kutipan yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya, merupakan sebuah surat yang berupa letusan yang
tepat pada dadanya, maka sebuah surat yang kedua dari khadizah, yang mengaku
sebagai temannya Hayati laksana sebuah bom yang meletus di tentang kepalanya.
Ini adalah sebagian kutipan surat dari khadizah :
“
Hayati kini telah menjadi keluarga kami, telah diterima oleh kaum kerabatnya permintaan
kami, dia telah bertunangan dengan abang saya Aziz, yang sekarang tengah
bekerja pada suatu kantor di Padang”
(hlm.119).
Dari kutipan di atas, pembaca akan
menilai bahwa benar peraturan adat itu menjadi tolak ukur sesorang untuk
mendapatkan sesuatu yang yang sesuai dengan adat kebiasaan. Pembaca akan
memberikan tanggapan bahwa bagaimana perasaan Zainuddin ketika mendengar kabar
tersebut, terlebih ketika dia mendapat surat tolakan dari keluarga Hayati.
Sedih memang sedih, hancur, sakit hati
itulah yang dirasakan Zainuddin.
Dua bulan lamanya Zainuddin sakit.
Sakit yang boleh dikatakan penutup dari zaman angan-angan remaja dan pintu
zaman yang baru untuk penghidupannya. Rupanya Allah masih mengizinkan dia
hidup, padahal sudah beberapa kali di dalam sakitnya dia meminta mati. Namun,
kini Zainuddin telah bangkit dari keterpurukannya. Zainuddin sekarang menjadi
seorang pengarang termahsyur. Hingga setiap orang mengetahui dan memuji
karangannya. Namun tak disangka Zainuddin kini bertemu dengan Hayati dan
suaminya Aziz. Zainuddin merasa dekat, tetapi berjauhan. Karena Hayati telah
bahagia dengan orang lain. Tapi Zainuddin tak mengetahui bahwa sebenarnya perkawinan
mereka hanyalah perkawinan akad saja bukan perkawinan hati. Aziz kini telah
mengalami kemunduran hingga dia tak tau harus tinggal dimana. Hingga pada saat
itu dia tampak kebingungan. Ini terlihat pada percakapan Aziz dan Hayati
sebagai berikut :
“ kemana kita akan pergi lagi?” kata Hayati (
hlm.180).
Akhirnya
Aziz memutuskan untuk pergi ke rumah Zainuddin, dan berbincang-bincang tentang
rumah tangganya. Dengan senang hati Zainuddin mengajak mereka untuk tinggal
bersama.
Ketika membaca cerita di atas, pembaca maka
akan terbawa suasana dimana ada sesuatu yang membuat mereka ikut merasakan
kesedihan dan bertanya-tanya mengapa cintanya Zainuddin dan Hayati tidak pernah
menyatu? Apa karena adat? padahal Zainuddin sendiri adalah oarang keturunan Minang.
Pembaca juga akan menilai bahwa harta bukanlah segalanya. Ini terbukti ketika Aziz
mulai bangkrut dan akhirnya Zainuddinlah yang mendapat gelar sebagai pengarang ternama.
Meskipun demikian Zainuddin tetap menolong mereka yang sedang mengalami kesusahan
dengan senang hati dibalik beban derita.
3. Pengharapan
dalam Air Mata Penghabisan
“ Saya kembalikan Hayati ke
tangan saudara, karena memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya. Hampir
dua tahun kami bergaul, ternyata pergaulan kami tidak cocok, karena dia saya
dapat dengan jalan tipuan, meskipun berkulit nikah kawin. Akan lebih beruntung
saudara mendapat dia, sebab dia seorang perempuan yang amat tinggi budinya. Dan
dia pun akan lebih puas beroleh suami yang cocok dengan aliran jiwanya. Adapun saya
sendiri telah memberikan Vonis atas diri saya “. (hlm. 193).
Pembaca
dapat memberikan respon melalui kutipan surat dari Aziz yang dikirim untuk
Zainuddin. Surat ini merupakan surat cerai yang dia tulis. Bahwa Aziz kini
menyadari, dirinya tidak sesuai dengan Hayati. Hayati adalah perempuan yang
tinggi budi, sedangkan ia adalah seorang yang rendah.
pembaca pun akan menilai bahwa tokoh
Zainuddinlah yang cocok untuk Hayati. Inilah kesempatan Zainuddin untuk meraih
cinta tulusnya yang sempat terpendam karena faktor-faktor tertentu di masa
lalu.
Ketidakberdayaan
Aziz berujung kepada kematian. Kabar ini dimuat dilembar kedua dari salah satu
surat kabar harian yang dikirim oleh reporter dari Banyuwangi, demikian
bunyinya :
“ MEMBUNUH DIRI DI HOTEL “
kemarin pagi, pelayan-pelayan di
Hotel... telah ribut lantaran kamar yang ditumpangi oleh seorang tetamu yang
hampir seminggu menumpang disana, sudah lewat pukul 9 belum juga terbuka.
Kira-kira pukul 10 dengan bersama-sama mereka mereka membuka pintu dengan kekerasan.
Setelah terbuka, telah didapati di dalamnya suatu keadaan yang amat ngeri.
Penumpang
itu tidang bangun lagi buat selama-lamanya, rupanay dia telah membunuh dirinya
dengan jalan memakan Adali, obat tidur yang mahsyur itu lebih dari sepuluh
buah. Tube obat itu terdapat di atas meja telah kosong.
Polisi
lekas diberi tahu. Dalam pemeriksaan polisi ternyata bahwa orang yang membunuh
diri itu datang dari Surabaya, berasal dari Sumatera.
Sore itu juga setelah diselidiki oleh
dokter, mayat itu telah dikuburkan di pusara orang islam di kota ini.. (hal.
195).
Pembaca, pada kutipan surat kabar di
atas beranggapan bahwa peristiwa yang
terjadi pada Aziz adalah tindakan yang memang sengaja dilakukan oleh Aziz,
karena ia tidak dapat menanggung malu atas perbuatan yang pernah dilakukan.
Atau bahkan ada yang memberikan komentar bahwa Aziz hanya ingin mencoba
menenangkan pikirannya dengan meminum obat tidur yang akhirnya menyebabkan
dosis tinggi dan meninggal. Banyak sekali tanggapan yang dapat kita bandingkan antara
pembaca A, B, C, D dan sebagainya.
Pasca meninggalnya Aziz, Hayati kini
menaruh harapan banyak kepada Zainuddin agar mereka bisa bersatu dalam sebuah
ikatan suci. Namun Zainuddin menolaknya. Misalnya dapat dlihat pada percakapan
Zainuddin dan Hayati dibawah ini :
“Saya
akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu
sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainuddin! Saya akan sudi
menanggungkan cobaan yang menimpa diriku itu. Asal engkau sudi memaafkan
segenap kesalahanku.”
“Maaf?”kau regas, segenap pucuk pengharapanku
kau patahkan, kau minta maaf?”
“Mengapa
engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalilah pupus
dari hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan kepadaku hukuman yang begitu
ngeri! Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti ini”
“Lupakah
kau,” katanya pula,“ siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau telah
berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang
dina hina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang
jalan. Kau berjanji menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tapi
kemudian kau beroleh gantiyang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat,
belembaga berketurunan.”
“Zainuddin...
itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku. Bukankah engkau telah termahsyur
di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak! Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal
dengan engkau disini. Biar saya kau hinakan, biar kau pandang sebagai babu yang
hina. Saya tak perlu kau beri belanja berapapun banyaknya, saya perlu dekat
kau!”
“
Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan
begini. Pulanglah ke Minangkabau! Jangan hendak ditumpang hidup saya, orang tak
tentu asal.. Negeri minangkabau beradat!.” (hlm. 196, 197, 198 dan 199).
Dari percakapan di atas, pembaca dapat
memberikan makna bahwa Zainuudin tengah emosi karena ia teringat masa lalu akan
kejamnya adat Minangkabau. Dan Hayati kini dilanda sedih dan terluka oleh
perkataan Zainuddin. Harapan Hayati telah menjadi sebuah angan-angan belaka.
Pembaca juga berpendapat bahwa yang dilakukan Zainuddin adalah hal yang wajar
karena cintanya yang utuh pernah dipatahkan lantaran Zainuddin adalah orang
miskin.
Hayati pun bergegas untuk pulang ke
Negeri asalnya dengan menumpangi kapal.Namun, ketika diperjalanan kejadian yang
tak disangka-sangka menimpa Hayati. Kapal yang ia tumpangi mengalami
kecelakaan. Berita ini kemudian tersebar di berbagai surat kabar. Akhirnya
Zainuddin pun membaca koran tersebut dengan badan yang gemetar, 59 penumpang
dari kapal tersebut belum
ditemukan.Zainuddin terlihat cemas dan sedih. Kemudian Zainuddin tanpa banyak kata mulai mencari
Hayati dan alhamdulillah telah ditemukan dan di rawat di Rumah Sakit. Hayati kini
tersadar dari pembaringanya dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka
timbullah dari matanya, sekejap saja, pengharapan.
“ kau.... Zain...”
“ Ya, Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita
bepisah lagi, bila telah berolek keizinan dari dokter, kita segera brangkat ke
Surabaya.”
“
Zainuddin, saya dengar perkataan.... Tuan Dokter... saya tahu bahwa waktu...
saya.. telah dekat.”
“
Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya menyampaikan
cita-cita kita, kita akan hidup beruntung, berdua! Tidak Hayati.. tidak!”
“
Sabar.. Zain, cahay kematian telah terbayang dumukaku! Cuma, jika kumati,
hatiku telah senang, sebab telah ku ketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!”
“Hidupku
hanya buat kau seorang Hayati!”
“Aku
pum!..”
Beberapa
menit kemudian dibuka matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya
mendekatinya. Setelah dekat, dibisikinya,“Bacakanlah..dua kalimat suci..
ditelingaku.”
Tiga
kali Zainuddin membacakan kalimat syahadat itu, diturutkannua yang mula-mula
dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga.. dia sudah
tak ada lagi!. (hal. 215, 216 dan 217).
Kini pembaca mulai menemukan tema cinta
tak sampai dalam novel HAMKA ini. Dimana sebuah cinta murni yang penuh dengan
harapan harus berujung pada kematian. Pembaca pula akan memberikan makna bahwa
cinta memang tidak bisa dipaksa. Karena dalam cinta hatilah yang berbicara.
Selain itu pembaca yang lain juga akan memberikan tanggapan bahwa betapa
menyesalnya tokoh Zainuddin yang telah menyembunyikan perasaanya. Hingga ajal
menjemput barulah dia mengatakan bahwa hidupnya hanya untuk Hayati seorang.
Setahun kemudian, Zainuddin pun
meninggal karena sakit .
III.
SIMPULAN
Pendekatan
resepsi sastra adalah pendekatan yang mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca
atas karya sastra yang dibacanya. Apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan
dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Dalam hal ini pembaca berperan untuk menafsirkan makna teks berdasarkan latar
belakang budaya individu dan pengalaman hidup. Pada dasarnya, makna teks tidak
melekat dalam teks itu sendiri, tapi dibuat dalam hubungan antar teks dan
pembaca.
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der wijck mengangkat
tema kasih tak sampai karena terhalang oleh peraturan adat. Dalam ceritanya
Zainuddin, tokoh dalam novel tersebut yang keturunan minang tetapi dibesarkan
di keluarga Bugis, ditolak permintaanya untuk menikah dengan Hayati karena
Zainuddin miskin dan dianggap tidak setara dengan Hayati. Peristiwa itulah
membuat Zainuddin hilang arah dan jatuh sakit. Berbagai permasalahan muncul
terus menerus dalam kehidupannya, terlebih ketika Zainuddin mendapatkan surat
dari Khadijah yang mengaku sebagai temannya Hayati yang memberikan kabar bahwa
Hayati akan menikah dengan abangnya yang bernama Aziz. Zainuddin kini semakin
terpuruk. Cintanya kepada Hayati akan terhenti begitu saja.
Hayati dan Aziz pun menikah. Rumah
tangga mereka hanya sekedar hubungan akad nikah , bukan hubungan akad hati.
Kini Hayati dan Aziz bertemu kembali dengan Zainuddin di Surabaya. Dan ternyata
Zainuddin saat itu telah menjadi seorang pengarang termahsyur. Pada waktu itu
juga Aziz mengalami kemunduran, hartanya bendanya habis, rumah di sita, dan
kehilangan pekerjaan. Aziz nampak kebingungan dan akhirnya Aziz berkunjung ke
rumah Zainuddin dan disanalah akhirnya mereka ikut singgah. Keadaan Aziz saat
itu lemah dan akhirnya jatuh sakit. Waktu silih berganti Aziz mulai sadar bahwa
cintanya terhadap Hayati hanyalah nafsu belaka, Aziz menyesal dan insaf hingga
perkawinannya berujung pada perceraian. Namun sebelumnya Aziz telah membuat
surat untuk Hayati dan Zainuddin. Tak disangka itu adalah pertemuan terakhir
karena Aziz kini telah meninggal karena bunuh diri di sebuah hotel. Saat itulah
Hayati mengungkapkan kembali perasaanya kepada Zainuddin. Namun ternyata
Zainuddin tak menghiraukan karena pucuk pengharapannya telah dipatahkan pada
tempo lalu. Zainuddin melainkan meminta Hayati untuk pulang kembali ke Negeri
asalnya yaitu Minangkabau beradat. Di tengah kesedihan Hayati kini bersiap
untuk pulang ke Negerinya dengan menaiki sebuah kapal. Namun dengan segenap
pengharapannya Hayati memberikan surat terakhir kepada Zainuddin yang
disampaikan melalui Muluk temannya Zainuddin. Di perjalanan Hayati, sesuatu
yang tak di sangka-sangka tiba melalui surat kabar bahwa “ KAPAL VAN DER WIJCK
TENGGELAM” saat itu Hayati ditemukan
dalam keadaan luka parah. Setelah hampir setengah jam Zainuddin dan muluk duduk
di sekitar pembaringan Hayati pun sadar dan selang beberapa waktu hayati
meninggal. Zainuddin menyesal karena sesungguhnya masih melekat cintanya untuk
Hayati. Ketidakberdayaan Zainuddin menahan semua ini membuatnya sakit dan
setahun kemudian terbit dalam surat kabar kota Surabaya bahwa “ZAINUDDIN
PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT”.
Peran pembaca dapat menilai bahwa novel HAMKA
“ Tenggelamnya Kapal Van DER Wijck” merupakan cerita cinta yang berujung pada
kematian. Cinta yang tak pernah tersampaikan, namun kisah cinta sepasang remaja
tersebut merupakan cinta murni yang dilandasi dengan keikhlasan dan kesucian
jiwa.
PUSTAKA
ACUAN
HAMKA,2008.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta:PT Bulan Bintang.